OLEH YANI ROHAENI, S.Pd.
(Guru SMAN 1 Luragung Kabupaten Kuningan)
Saat saya masih kecil sering terngiang ungkapan orang tua dulu yang menyatakan larangan seperti “Neng ulah sok diuk di lawang panto bisi nongtot jodo (jangan duduk di depan pintu akan susah jodohnya ). “Ujang, Nyai ulah sok kaluar wayah sareupna (magrib) bisi aya sandekala (jangan keluar waktu maghrib takut ada bahaya). Itulah perkataan orang tua zaman dulu yang dikenal dengan istilah pamali.
Pamali merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Sunda yang berkembang secara turun temurun dari orangtua ke anak-anaknya dan ke generasi berikutnya sampai saat ini sebagai bentuk adaptasi masyarakat terhadap alam dan lingkungan tempat tinggalnya. Jika kita telaah kata-kata yang diucapkan orangtua zaman dulu dalam bentuk pamali tidaklah salah. Walaupun alasannya di luar logika, tetapi secara tersirat bisa kita telaah secara rasional. Sebenarnya bukan jodoh ataupun rezeki yang sulit kita terima jika duduk di depan pintu tetapi memang kurang pantas atau tidak sopan jika seorang anak duduk depan pintu yang akan menghalangi jalan orang lain karena pintu merupakan akses keluar masuk rumah. Selain itu pertanda anak tersebut malas karena hanya berdiam diri di depan pintu saja. Begitu juga ketika anak keluar di waktu magrib itu tidak baik karena waktu tersebut harusnya digunakan untuk beribadah shalat, mengaji dilanjutkan dengan belajar dan berkumpul dengan keluarga .Jika anak memaksa dikhawatirkan dia akan terpengaruh perilaku jelek dari orang lain yang perilakunya selalu membuat keributan di malam hari yang jelas tidak ada manfaatnya.
Dari uraian di atas jelas bahwa pamali yang merupakan peraturan tidak tertulis di masyarakat bermanfaat untuk mengatur perilaku seseorang dalam hal tatakrama. Pamali juga bisa mendidik masyarakat untuk selalu berhati-hati dan cermat dalam kehidupan sehari-hari. Lalu adakah hubungan pamali dengan menjaga kelestarian lingkungan alam?
Ada banyak ungkapan pamali yang fungsinya sebagai kontrol sosial masyarakat agar tidak merusak alam. Di beberapa wilayah Jawa Barat masih terdapat hutan yang masih asri dan belum terjamah manusia yang dikenal dengan nama hutan larangan. Hutan tersebut diantaranya berada di kawasan kampung Kuta Ciamis, kampung Naga Tasikmalaya, leuweung Sancang Garut, gunung Dukuh Jagabaya Panawangan Ciamis, Gunung putri Majalengka, hutan Halimun gunung Salak, hutan larangan di kawah burung gunung Ciremai dan lain-lain. Hutan Larangan ini merupakan suatu area yang tidak boleh dimasuki manusia bukan karena vegetasi dan bentang alamnya, tapi lebih ke hal-hal yang sakral yang diyakini masyarakat sekitar hutan tersebut. Ada beberapa ungkapan pamali yang melarang masuk hutan tersebut mulai dari tidak boleh berbicara kotor dan kasar di hutan, jangan masuk hutan apalagi mengambil kayunya karena akibatnya akan diterima orang yang melanggar saat itu juga, seperti tersesat dalam hutan dan bertemu penghuni hutan yang kasat mata. Terlepas dari benar atau tidaknya, kita bisa mengambil hikmah dari larangan tersebut agar selalu memelihara alam.
Selain hutan larangan, di kampung Naga Tasikmalaya ada pamali jangan mengotori sungai dengan sabun, pamali mengambil ikan di sungai dengan menebar racun, tidak boleh menggunakan pupuk kimia untuk tanaman karena ditakutkan alam akan marah dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang sarat dengan kemistisan.
Dari uraian di atas terlepas dari masuk logika atau tidaknya dari ungkapan pamali yang ada di masyarakat, kita bisa belajar bahwa dalam kehidupan itu pasti berlaku hukum sebab akibat. Jika kita berbuat baik terhadap alam maka alampun akan menjaga kita dari bahaya, tetapi jika kita merusak alam maka kita akan tertimpa musibah seperti yang dialami sebagian masyarakat kita mulai dari terkena bencana longsor,banjir dan kekeringan.
Dengan demikian pamali bukan sekadar mitos belaka, tetapi ada petuah, pandangan hidup (filosofi) di dalamnya. Pandangan hidup masyarakat Adat menyatakan bahwa kita bukan sekedar hidup di alam tapi kita hidup bersama alam.
Bagaimana agar generasi muda sekarang tetap bisa hidup berdampingan dengan alam dan tidak merusak alam? Tentu banyak cara yang dilakukan mulai dari pendidikan dari orang tua di rumah, di lingkungan masyarakat dan juga di sekolah.
SMAN 1 Luragung Kuningan Jawa Barat merupakan salah satu sekolah adiwiyata memiliki peranan untuk menciptakan peserta didiknya menjadi pribadi yang berkarakter dan mencintai alam. Banyak hal yang sudah dilakukan warga sekolah agar siswa mau peduli terhadap lingkungan sekitarnya seperti:
1. Menanamkan perilaku membuang sampah pada tempatnya. Bukan sekedar membuang sampah pada tempatnya tetapi juga bisa memilih dan memilah mana sampah organik dan anorganik dengan menyediakan tempat sampah yang berbeda. Sampah organik bisa dikelola lagi untuk membuat kompos dan sampah anorganik dikelola lebih lanjut dengan di daur ulang menjadi barang-barang yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.
2. Menanam pohon, baik pohon buah-buahan, tanaman rindang dan tanaman hias yang melibatkan kader adiwiyata agar nantinya bisa dijadikan sebagai sumber belajar peserta didik .
3. Menghemat energi dengan mematikan peralatan elektronik jika tidak digunakan.
4. Mengadakan estrakurikuler pecinta alam yang bisa menumbuhkan dan mengembangkan kecintaan terhadap alam.
5. Menyisipkan materi kearifan lokal dalam tiap mata pelajaran yang diberikan guru di sekolah agar peserta didik dapat mengenal kebudayaan, potensi dan nilai-nilai yang ada di setiap daerah.
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!