Oleh H. UUS SUDIANA, M.PdI.
(Guru SMA Negeri 1 Luragung Kab. Kuningan)
Teringat masa kurang lebih 40 tahun silam disaat mengambil sekeranjang buah yang menjadi primadona anak-anak saat itu. Untuk mendapatkannya harus mempunyai keberanian yang cukup karena pohonnya yang menjulang tinggi, belum lagi harus melawan gatal dan sakitnya gigitan semut. Semua rasa itu sirna setelah mendapatkan beberapa tangkai buah yang ranum dengan warna merah dan hitam yang begitu menggoda untuk menggigitnya walaupun sambil menyeringai mengerenyitkan dahi karena rasa masam dari buah kecil itu. Setelah keranjang yang terbuat dari anyaman bambu itu penuh, maka bergegas untuk pulang dan merengek meminta dibuatkan tempat untuk menumbuk buah tersebut yang lengkap dengan alat untuk menumbuknya.“Aki” sebutan untuk kakek waktu itu, membuatkan tempat menumbuknya dari bambu yang dipotong kurang lebih 30 cm dengan menyisakan salah satu ruas di bagian bawahnya, sedangkan alat penumbuknya terbuat dari ranting pohon yang aman dan ranting pohon tersebut juga dijadikan sebagai alat makan pengganti sendok. Dahulu, ranting pohon petai cina sering dipakai karena memiliki aroma enak yang dapat menggugah selera makan. Dengan menambahkan garam, cabai rawit, gula kawung dan sedikit terasi merah kemudian dimasukkan sedikit demi sediki buahnya kedalam ruas bambu sambil ditumbuk-tumbuk, maka jadilah rujak yang siap untuk disantap menggunakan alat penumbuknya yang dapat dijadikan sebagai sendok. Itulah rujak “Huni” yang sekarang sudah tidak pernah ditemukan lagi dikampung halaman (Lembur desa Rinduwangi Panjalu, Ciamis, Jawa Barat)
Buah Huni (buah Berry)
Pada waktu itu, setelah memakan rujak huni yang dirasakan begitu segar dan ”pak pray” rasa suntuk pun hilang karena sensasi rasa perpaduan masam, pedas dan manis dari buah tersebut dan dahulu belum terpikirkan tentang apa manfaat dari buah huni tersebut. Semua itu belum pernah terulang kembali karena masa yang sudah berlalu sangat lama ditambah lagi pohon Huni yang besar di kebun Aki sudah lama ditebang dan sampai sekarang tidak pernah terlihat lagi pohon Huni di sekitar kebun itu. Dengan kata lain, pohon Huni menjadi salah satu pohon langka yang sangat sulit untuk ditemukan sama hal nya dengan beberapa pohon langka lainnya seperti pohon kupa, kopi anjing, lampeni, bengberetean (stroberi leuweung)
Kerinduan masa kecil akan pohon dan rujak Huni terobati setelah kurang lebih dua tahun kebelakang muncul buah Huni dibatang pohon yang tumbuh di halaman SMAN 1 Luragung yang begitu lebat berbuah di bulan Juli-Agustus yang mungkin sebagai musim masa berbuahnya. Akan tetapi, sekarang buah Huni tersebut menjadi berbeda olahan dimana tidak lagi dengan dirujak tumbuk tetapi dengan hidangan yang begitu menggoda dengan warna merah merona. “Bah Rowi” salah satu guru di SMAN 1 Luragung memanjakan kami dengan olahan dari buah Huni yang selalu membawa sirup Huni dalam jumlah yang banyak dalam botol. Sirup Huni dengan perpaduan gula kawung yang tentunya bebas dari pewarna dan tanpa pengawet selalu tersedia di depan ruang guru. Hatur nuhun Bah, mugi Allah SWT membalas kebaikan Bahrowi yang menyediakan sirop buah Huni yang sangat lezat ini
Pohon Huni yang ditanam 9 tahun lalu bersamaan dengan pohon lainnya (juwet, sirsak, bintaro, ketapang, tanjong dan masih banyak lagi) menjadikan SMA Negeri 1 Luragung menjadi sekolah Adiwiyata Kabupaten, Provinsi, sampai Nasional dan sekarang selangkah lagi menuju Adiwiyata Mandiri dengan ciri khas Keanekaragaman Hayatinya.
Di samping pohon keras berdaun lebat, buah Huni tentunya memiliki fungsi sebagai tanaman anti polusi, dapat menghasilkan oksigen dan tentu buah nya pun memiliki beragam manfaat diantaranya mengandung vitamin C dan vitamin E untuk menjaga kesehatan kulit, mengandung vitamin A yang sangat baik untuk kesehatan mata, mengandung antioksidan yang konon katanya dapat mengembalikan kesegaran tubuh dan bila dikonsumsi secara rutin dapat menurunkan hipertensi, kolesterol maupun berat badan. Buah huni juga dapat digunakan untuk membuat selai dan jeli. Termasuk daun nya pun berguna untuk memberi aroma pada ikan atau daging rebus
Semoga kita bisa menjaga kelestarian pohon-pohon terutama pohon langka di lingkungan kita agar tetap lestari yang terkadang tersisihkan oleh dampak pengembangan dan pembangunan seperti hilangnya pohon kayu manis, sawo kecik dan pohon huni yang tidak berbuah tetapi hanya berbunga dan berbau menyengat
“Tidak seorangpun Muslim yang menanam tumbuhan atau bercocok tanam, kemudian buahnya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang ternak, kecuali yang dimakan itu akan bernilai sedeqah untuknya “ (HR.Bukhari)
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!